RSS
Write some words about you and your blog here

Sapi Berkaki Palsu Pertama di Dunia

Sapi Berkaki Palsu Pertama di Dunia


MEADOW adalah nama seekor anak sapi pertama kali di dunia yang mengunakan dua kaki belakang palsu agar bisa kembali berjalan normal. Kaki Meadow terpaksa diamputasi karena kedua kuku kakinya mengalami frostbite (membusuk akibat kebekuan es).

Sapi yang kini berumur 11 bulan ini ditemukan pada Agusus lalu oleh Nancy Dickenson dan anaknya di sebuah ladang penggembalaan di timur laut New Mexico, Amerika Serikat (AS). Saat ditemukan, Meadow nyaris tidak bisa berdiri karena kedua kuku kaki belakangnya membusuk akibat kebekuan es. Untuk menyelamatkan Meadow agar bisa berjalan normal, Dickenson pun membeli hewan ternak dari pemiliknya dan segera membawa ke dokter hewan setempat.

Dokter hewan, dibantu mahasiswa Colorado State University, mengamputasi kedua kaki belakang Meadow dan menyiapkan kaki palsu yang sesuai dengan struktur tulang sapi. "Meadow merupakan sapi pertama di dunia yang memakai dua kaki palsu," kata Robert Callan, dokter hewan yang mengoperasi Meadow.

Dickenson menyatakan biaya operasi kaki palsu bagi Meadow mencapai ribuan dolar dan ditanggung penuh oleh dirinya dan keluarga. Nama Meadow yang berarti padang rumput ini diberikan Dickenson sesuai dengan lokasi saat sapi jenis black angus ini ditemukan.

Kini Meadow bisa berlari dan menyesuaikan diri dengan hewan ternak lain di Twin Willow, peternakan milik Dickenson. Saat para tetangga bertanya apakah sapi itu akan dipotong untuk diambil dagingnya, Dickenson menjawab, "Apakah Anda bercanda? Ini bayiku yang baru.

sumber: www.mediaindonesia.com

Indonesia Pengakses Situs Porno Terbesar di Dunia

JAKARTA--MI: Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Tifatul Sembiring mengatakan, Indonesia menjadi negara dengan pengakses situs porno terbesar di dunia.

"Indonesia sampai saat ini paling besar mengakses situs porno," kata Tifatul di Jakarta, Rabu (4/11).

Ia mengatakan, pihaknya prihatin bila selama ini internet hanya dipergunakan untuk mengakses situs yang tidak bermanfaat. Kenyataan itu menjadi fakta pahit yang harus dihadapinya yang mendorong Tifatul menyosialisasikan cara memanfaatkan informasi yang benar dan baik. "Kita akan kembangkan program INSAN yakni internet sehat dan aman," katanya.

Menurutnya, internet adalah giant library atau perpustakaan raksasa yang menyediakan segala macam bentuk informasi. Hal itu membutuhkan kesadaran untuk membentuk Indonesia informatif yang bermanfaat.

Oleh karena itu, ia menghimbau masyarakat untuk menggunakan produk teknologi dan informasi termasuk internet untuk keperluan yang lebih produktif.

Menteri juga menyatakan tekad untuk membentuk visi Indonesia informatif yang berarti masyarakat yang aware terhadap informasi. "Ini artinya masyarakat yang rasional, underbase of information knowledge yang tidak berdasar pada provokasi dan isu-isu," katanya.

Pihaknya juga mengaku sangat memahami perkembangan kebutuhan masyarakat yang informatif, murah, dan terjangkau.

"Kita masih memiliki indikator yang rendah mulai dari penetrasi komputer yang masih 8 persen, internet 12,2 persen, pengembangan software 80 ribu, dan pengembangan hardware 5.800. Kami harap angka ini bisa dilipatgandakan melalui pameran ini," katanya.

sumber: www.mediaindonesia.com

Satu Anak Satu Laptop


One Laptop Per Child

Satu Anak Satu Laptop
One Laptop Per Child (OLPC)

“Ini adalah proyek pendidikan, bukan proyek laptop.”



Misi

Hampir semua dari dua-milyar anak-anak di negara yang sedang berkembang pendidikannya adalah kurang, atau tidak menerima pendidikan sama sekali. Satu antara tiga tidak lulus kelas lima SD.

MissionKonsekwensi individu dan sosial oleh krisis global ini adalah sangat signifikan (profound). Anak-anak terikat di dalam kemiskinan dan isolasi — seperti orang tuanya — dan tidak pernah tahu pengaruh kehidupan mereka yang dapat menjadi dari "the light of learning" (sinar pendidikan). Selama ini, pemerintah-pemerintah mereka berjuang untuk berkompetisi di dunia global dan ekonomi informasi global yang cepat merubah, yang dibeban oleh "urban underclass" (masyarakat kota) yang terus meningkat dan tidak dapat mandiri, maupun berkontribusi, karena mereka tidak mempunyai alat-alat untuk melakukan itu.

Ini sudah waktu untuk memikir ulang rumusnya.
Dengan sumber-sumber yang negara perkembang dapat mengalokasikan ke pendidikan kadang-kadang ada dibawah $20/tahun/siswa-siswi, dibanding dengan kira-kira $7500/siswa-siswi/tahun di A.S. — walapun alokasi ke pendidikan tradisional dilipad dua atau empat kali, dan dibantu oleh dana dari luar dan sumber swasta, masih tidak akan berhasil mengatasi masalahnya. Apa lagi, dari pengalaman bahwa kelihatannya "incremental increase" peningkatan gradual hal-hal pendidikan yang biasa, bangun sekolah, angkat guru, beli buku dan peralatan yang memang baik, ini adalah response yang kurang terhadap masalah membawa kesempatan-kesempatan pelajaran yang luas ke anak-anak yang bermilyadan di dunia perkembang.

Kalau berdiri dan tidak maju ini adalah sama dengan mundur.
Anak-anak bangsa adalah sumber alam yang paling terhargai. Kami percaya bahwa negara-negara yang sedang berkembang harus "leverage" menggunakan sumber ini oleh kemampuan untuk "tapping into" menggunakan kapasitas alami anak-anak untuk belajar, membagi, dan berkreatif secara mandiri. Jawaban kami untuk tantangan ini adalah XO laptop, komputer yang dirancang untuk “belajar belajar”.

XO mengintegrasikan "theories of constructionism" yang pertama di bangunkan oleh MIT Media Lab Professor Seymour Papert tahun 1960an, dan later dilanjutkan oleh Alan Kay, dilengkapi dengan prinsip-prinsip terinci oleh Nicholas Negroponte di bukunya, "Being Digital".

Validation"Sudah dites di lapangan secara luas dan divalidasikan di antara masyarakat-masyarakat yang termasuk yang paling miskin dan terisolasi di dunia, "constructionism" menekan bahwa yang Papert sebut “belajar belajar” adalah pengalaman pendidikan dasar. Sebuah komputer dapat enabel secara unik "belajar belajar" karena memberi kesempatan ke anak-anak untuk “berpikir mengenai pikiran”, secara yang tidak mungkin dengan cara lain. Mereka menggunakan komputer XO sebagai jendela ke dunia, sambil sebagai alat yang sangat dapat diprogram untuk membuka dunia, anak-anak di negara yang sedang berkembang akan membuka pengetahuan yang luas dan kreativitas mereka sendiri dan potensi untuk "problem-solving".

OLPC bukan, di harti, program teknologi, dan XO juga tidak sebagai produk di dalam arti produk secara konvensional. OLPC adalah organisasi "non-profit" yang menyediakan "means to an end" solusi yang dapat melihat anak-anak di daerah yang sangat terisolasi di dunia diberikan kesempatan untuk menggunakan dan meningkatkan potensi mereka sendiri, dan mengakses dunia idea-idea dari seluruh dunia, dan berkontribusi untuk membuat dunia yang lebih produktif dan sehat mental.

sumber: e-pendidikan.com

Kirim Email Sampah Didenda Rp1,7 Triliun

BERHATI-hatilah para pengguna jejaring Facebook jika mengirim pesan bersifat sampah (junk mail) di situs komunitas ini. Kemarin, pengadilan California menjatuhkan memerintahkan Sanford Wallace untuk membayar ganti rugi sebesar US$177 juta atau sekitar Rp1,77 triliun kepada Facebook karena terbukti membombardir situs ini dengan junk mail.

Wallace memang terkenal dengan sebutan 'Spam King' lantaran sering membombardir situs dengan junk mail maupun wall posting ke dalam akun anggota Facebook tanpa izin. Tindakan ini dinilai Facebook telah merusak situsnya. "Kami menang lagi dalam peperangan melawan spammer," demikian pernyataan Facebook.

Jeremy Fogel, hakim Pengadilan Distrik California, dalam putusannya juga melarang Wallace dan siapa pun yang terafiliasi dengan Wallace untuk mengakses Facebook. Wallace juga bersiap dipenjara karena perbuatan ini bukan pertama kali ia lakukan.

Wallace yang bermukim di Las Vegas ini juga pernah terlibat kasus yang sama dengan perusahaan daring lainnya. Pada Mei 2008, MySpace memenangkan gugatan sebesar US$230 juta, sedangkan pada 2006, Komisi Dagang AS menjatuhkan denda US$4 juta karena mengirim iklan pop-up yang biasa dikenal spyware.

Sementara Facebook, pada November 2008, memenangi US$873 juta melawan Adam Guerbuez dan rekan bisnisnya di Atlantis Blue Capital karena membombardir anggota Facebook dengan pesan yang mengandung pornografi.

sumber: www.mediaindonesia.com

MENCARI PERKEMBANGAN PROSA YANG MEMADAI

Perkembangan prosa saat ini rupanya hendak berjalan sendiri dengan upaya melepaskan dari perkembangan sosial-politik yang ada. Hingar bingarnya para penulis prosa awal 1990-an yang kental tautannya dengan kekuasaan orde baru sebagai suatu respon yang nyaris tak bisa dihindari, kini seolah tidak mendapat jejaknya. Kalau pun ada, prosa demikian jarang, dan sekalipun ada nyaris tidak terdengar gaungnya.


Kala 1990-an, prosa dianggap cara yang sangat mewakili untuk mengritik kekuasaan orde baru, setelah berita tidak memiliki kemungkinan untuk menyuarakan, tokoh-tokoh vokal dipenjara, dan mereka yang hendak melakukan apa-apa yang oleh dianggap negara sebagai pembangkangan dibayangi sebutan “subversif”, “perusuh”, “organisasi tanpa bentuk”, dan “komunis”. Represi masif yang nyaris hadir dalam setiap sisi kehidupan masa orde baru telah menciptakan kondisi mencekam. Kenyataan sosial yang sangat politis tapi a-politis semacam ini hanya mungkin diungkap dengan cara-cara yang dalam sudut pandang kekuasaan diabaikan lantaran tidak membahayakan atau tidak paham. Salah satu jawabannya dengan menuliskan ke dalam prosa. Maka, prosa saat itu bertaburan idiom “kepala desa” dan “lurah” sebagai cara untuk menggambarkan kekuasaan presiden yang tak terbantahkan. Mengambil cerita wayang seperti Pandawa-Kurawa dan memparodikannya sebagai sarana untuk menyuarakan ketertindasan. Penulis macam Seno Gumira Ajidarma dalam kumpulan prosanya Saksi Mata, Agus Noor, dan Indra Tranggono, adalah penulis prosa yang berusaha menyerap jiwa zaman tersebut.

Rupanya kecenderungan penulis-penulis masa itu menganggap bahwa tujuan utama karya mereka adalah sejauh mana mengritik kekuasaan yang absolut. Semakin menunjukkan sikap kritis terhadap kekuasaan semakin pula karya tersebut dianggap berhasil. Sementara itu, seperti telah menjadi sebuah kesepakatan, pihak media massa yang memuat prosa memiliki pandangan serupa untuk menyampaikan ketimpangan sosial-politik yang tidak bisa dimuat di rubrik pemberitaan.

Lantas, pada 1998 orde baru jatuh (tentu bukan lantaran prosa-prosa tersebut!), peta politik berubah dan kekuasaan menampakkan dirinya sangat berbeda dengan apa yang terjadi pada sebelum 1998. Kekuasaan pada masa “reformasi” tak lain kekuasaan yang terbangun dari berbagai elemen kekuatan yang ada di masyarakat. Tak heran kekuasaan yang ada ramai oleh bahasa tawar-menawar. Kekuasaan pada “reformasi” merupakan hasil konsensus oleh berbagai kepentingan yang ada. Untuk memiliki daya tawar setiap kepentingan yang terwakili dalam partai mesti memiliki massa yang melimpah dan karena itu diperlukan dana yang banyak untuk mengoperasionalisasikan organisasinya. Dari titik ini, kenapa kebijakan-kebijakan yang berlatar liberal berhasil lolos menjadi sesuatu yang masuk akal.

Arah kebijakan tersebut, entah disadari atau tidak, menemukan kaitnya dengan gejolak yang ada di masyarakat. Kecenderungan untuk merayakan kebebasan yang sebelumnya dikekang seperti mendapat ruang pembebasannya. Maka, jika pada masa orde baru digembar-gemborkan tentang jati diri bangsa, masa “reformasi” ini adalah masa untuk mengabaikan identitas kebangsaan. Slogan yang umum pada globalisasi ini: sepatu dari Italia, pakaian dari Prancis, mobil dari Amerika, rokok dari kota Surabaya, makan di restoran Jepang di sebuah plaza yang dibangun oleh investor Inggris.

Kecenderungan kapitalisasi di setiap segi kehidupan ini tampaknya mendapat persetujuan dari penulis-penulis prosa. Mereka tidak peduli dan tidak mau tahu perihal tradisi budayanya, masa lampaunya, dan kebiasaan-kebiasaan orang tua mereka. Ciri menonjol generasi penulis prosa pasca-orde baru ini secara sosiologis suka menulis kesenangan seksual dan masa indah masa muda (chiclit dan teenlit), tidak suka merespon kejadian-kejadian besar terutama politik, tidak menyukai pembicaraan yang bermuara pada SARA. Sementara secara literer, mereka lebih mementingkan kemolekan tekstual daripada konsteks, percaya bahwa teks lebih ajaib dibandingkan muatan teks, tidak begitu suka membahas aspek sosiologis apalagi politis, dan suka membanding-bandingkan karya penulis besar luar negeri.

Momen ini semakin menemukan titik terangnya dengan bisnis buku yang telah dirintis kemunculannya oleh penerbit-penerbit kota Yogyakarta di awal masa “reformasi”. Penerbit di Yogyakarta mengeluarkan buku-buku kritis yang pada masa orde baru mustahil diterbitkan. Masa 1999-2000 buku-buku kiri bermunculan seperti bangkit dari kuburnya. Buku Marx, Lenin, Tan Malaka hingga Pramoedya Ananta Toer terbit. Dengan menampilkan wajah tokoh-tokoh tersebut di kulit muka buku, terlihat jelas para penerbit ingin memanggil roh kiri yang selama orde baru sama sekali tidak punya kesempatan muncul. Namun, kemunculan buku-buku kritis ini membangkitkan aksi berangus sepihak dari elemen masyarakat tertentu. Mereka masuk toko dan menjarah buku-buku yang beraliran kiri. Pada peristiwa ini, kebebasan pertama kalinya diuji bukan kaitannya dengan negara tetapi dalam kaitannya dengan pemahamam kebebasan antarelemen masyarakat. Sialnya, penerbitan buku yang lebih mengandalkan semangat pemikiran dan skala industrinya kecil dalam waktu singkat bergeser ke penerbitan kota Jakarta yang menerbitkan buku-buku hiburan yang komersial, selera serampangan, manajemen modern, dan tentu dana besar. Penerbitan yang belakangan ini semakin menghegemoni selera minoritas dengan diterimanya berbagai buku populer. Buku-buku kritis dan sastra tergelincir dan para penulis dengan obsesi popularitas mirip artis sinetron berhamburan bak kunang-kunang yang bersinar malam hari dan mati di siang hari.

Dalam kaitannya dengan perkembangan prosa dari masa 1990-an hingga sekarang, terlihat jelas pergeseran dari konteks ke teks, dari ekstrinsik ke intrinsik, dari peristiwa besar ke peristiwa kecil. Dan sebagaimana lazimnya dalam sejarah sastra Indonesia, pandangan yang mengusung “kebaruan” cenderung diterima tidak peduli apakah pandangan tersebut sesuai dengan konteks atau tidak.

Perimbangan Teks dan Konteks
Kenyataannya, para penulis prosa tersebut hidup dalam sebuah realitas sosial Indonesia yang penuh masalah. Mereka bukan tinggal di surga. Memang, prinsip sastra yang menjadi kesadaran para penulis pasca orde baru dengan menganggap keberpihakan pada realitas sosial berakibat terciptanya teks yang tidak “nyastra”, bisa saja benar. Sebaliknya, dengan berkomitmen pada teks mereka percaya terciptanya prosa yang bagus lebih mungkin. Sebab, prosa memiliki prinsip-prinsip tersendiri yang berbeda dengan kenyataan sehari-hari. Konsekuensi dari prinsip ini, tentu saja, perhatian pada konteks di mana penulis tinggal menjadi sekunder sebab yang primer ada pada teks yang memiliki prinsip-prinsipnya tersendiri. Kalau pun memiliki persinggungan dengan realitas sosial, hal tersebut tidak menjadi perhatian utama, sebab yang utama adalah pencapaian di ranah teks.

Mungkin perlu dilacak secara sosiologis bagaimana pandangan semacam ini begitu mudah diterima oleh penulis-penulis prosa tanpa berusaha mencurigai terlebih dahulu bagaimana hakikat pandangan ini dan dari situasi sosial semacam apa pandangan ini berasal. Sebab dengan melihat pandangan ini dengan konteks sosial-politik di Indonesia, jika diterapkan mentah-mentah hanya akan memasung imajinasi penulisnya dengan lingkungan di mana ia tinggal. Memang, prinsip komitmen pada teks akan menjauhkan penulis prosa untuk menulis slogan yang kerap muncul dalam sebuah demonstrasi—meskipun kita tidak tahu apa yang tidak slogan dalam setiap pemakaian bahasa.

Keberpihakan pada ketimpangan sosial politik pada penulis prosa awal 1990-an yang bagi penulis prosa saat ini mereduksi kekayaan dan berbagai kemungkinan tekstual disanggah dengan menepis fakta sosial-politik. Apakah hukum bandul akan bergeser di titik ekstrem mengikuti pergeseran waktu, situasi, dan nilai dapat dipercaya sehingga mengabaikan perubahan penulisan prosa sebagai sesuatu yang terberi? Tentu saja tidak. Pergeseran selalu memiliki logika yang dapat dirunut dan semua itu akan bersandar pada konsep tertentu dan bagaimana konsep tersebut tersebar dengan berbagai aparatusnya.

Sekalipun pandangan kritis atas kondisi sosial-politik masa orde baru harus dikoreksi demi realitas sosial politik yang sungguh berbeda pada masa “reformasi”, namun tidak berarti menggagalkan nilai kekritisannya. Jika ketimpangan semasa orde baru sistem terlalu membekap rakyat, maka orde “rerformasi” ini membiarkan rakyat bersuara sebebas-bebasnya sebagai konsekuensi “demokrasi” sehingga tidak jelas lagi mana yang sungguh suara rakyat dan mana yang bukan. Sebab kekuasaan tidak lagi memusat di pemerintahan tapi terpilah menjadi sekian banyak partai, serdadu, pemilik modal, organisasi masyarakat, media, dan lembaga-lembaga asing. Sekalipun demikian, dengan jelas dapat dilihat kelaparan, pencemaran lingkungan, gizi buruk, pertikaian antaretnis, pengangguran, narkoba, perdagangan senjata, korupsi merebak.

Kesadaran yang besar atas tekstual masa sekarang akan menghasilkan prosa-prosa yang lebih memadai seandainya daya kritis terhadap kondisi sosial-politik penulis prosa semasa awal 1990-an tetap dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam penulisan prosa. Imajinasi tidak saja dipicu dari kemungkinan tekstual semata, tetapi juga dari pergulatan diri dan lingkunganmu!

sumber: http://media-sastra-indonesia.blogspot.com

coment dsini !!!